Minggu, 08 November 2009

Huru - Hara 10 November 1945

Sebelum pertempuran besar pasca ultimatum Sekutu, 10 November 1945, kondisi Surabaya memang sudah panas. Di awal September 1945, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, pasukan Sekutu mendarat di banyak kota besar di Indonesia, termasuk Surabaya. Belum banyak perlawanan saat itu karena banyak yang percaya bahwa niat Sekutu hanya mengurus tawanan-tawanan Belanda yang ditahan Jepang dan melucuti senjata negara yang kalah perang itu.

Sayangnya, sebagian tahanan Belanda yang baru dilepaskan terlalu larut dalam nostalgianya sebagai penjajah. Ditambah pemahaman bahwa Belanda adalah anggota Sekutu dan karenanya tercatat pula sebagai pemenang Perang Dunia II, perasaan sebagai “yang berkuasa” membuncah tak terbendung. Salah satunya diimplementasikan dengan mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato (Belanda mengenalnya sebagai Hotel Oranje, kini Hotel Majapahit), salah satu landmark Surabaya saat itu. Pengibarnya adalah Pratu Landsdorp dan J.L. Boer, dua tentara Belanda anak buah Pluegman.

Sejarawan Unesa, Aminuddin Kasdi menyebut pengibaran bendera Belanda dilakukan anggota Mastiff Carbolic bersama orang Belanda yang tergabung dalam Komite Kontak Sosial. Bendera itu dikibarkan di tiang kanan gapura hotel sebagai lambang tegaknya kembali kolonialisme Belanda di Surabaya.

Mastiff Carbolic Party merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang

diorganisasi oleh Anglo Dutch County Section (ADCS) angkatan 136. ADCS selama

Perang Dunia II adalah organisasi spionase yang dikirim ke Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Jawa secara rahasia.

Melihat bendera bekas penjajah dikibarkan kembali, tentu saja rakyat Surabaya marah. “Lho kok kurang ajar, kok onok merah putih biru?” kata Kadaruslan, menirukan kemarahan warga Surabaya saat itu.

Dengan kemarahan yang sama, warga pun kompak menyobek bagian biru pada bendera itu hingga menjadi merah-putih, bendera Indonesia, meski proporsinya menjadi tidak pas. “Saya juga melihat peristiwa di Hotel Oranye itu. Peristiwa tersebut terjadi tanpa ada komando. Tepat Hari Rabu, 19 September 1945, arek-arek Suroboyo yang tidak serantan (hilang kesabaran) segera naik ke atas hotel. Ada 3 atau 4 orang, mereka naik ke tangga lalu menyobek bendera. Menurut saya itu perbuatan yang berani sekali,” lanjut pria yang biasa disapa Cak Kadar itu.

Menurut Aminudin Kasdi, para penyobek bendera perlu panggul-memanggul di antara mereka untuk bisa melakukan aksinya. Perobekan itu sendiri, kata dia, diawali dengan menggigit bendera tersebut.

Cak Kadar sendiri, si remaja tanggung usia 14 tahun saat itu, melihat peristiwa itu dari halaman toko buku milik Belanda. “Saya lupa nama tokonya,“ katanya.

Bila Cak Kadar mengatakan tak ada komando, Eddy Samson mengaku perobekan bendera Belanda itu sudah dikondisikan. Pelopornya siapa lagi kalau bukan sang orator, Bung Tomo.

Di hari kejadian, massa datang secara berkelompok dari beragam perkampungan di Surabaya. Kedatangan massa, kata Eddy, karena adanya imbauan dari Bung Tomo yang meminta arek-arek Suroboyo berkumpul di area Hotel Yamato. Pengibaran bendera Belanda di hotel itu dianggap tidak menghargai kemerdakaan RI.

“Saya berada di pojok Jalan Embong Malang waktu itu. Jalanan sudah dipenuhi orang dengan wajah menahan marah,” kisah Ketua Veteran Londo de Indo Club Surabaya ini.

Seperti halnya pemuda lainnya, Eddy pun datang bukan dengan tangan kosong. Di tangannya tergenggam klewang, senjata yang selalu ditentengnya ke mana pun ia pergi kala itu. Dari tempat tinggalnya di Jalan Nangka, kawasan Tambaksari, Eddy dan beberapa temannya berjalan kaki menuju Hotel Yamato sejak pagi buta.

“Mendengar imbauan Bung Tomo, saya merasa kesal terhadap pengibaran bendera Belanda itu, karena itu saya putuskan bergabung dengan teman-teman,” ujar pria yang masih tampak bugar di usianya yang menginjak 75 tahun itu.

Penggeloraan semangat juga dilakukan beberapa pemuda yang menggunakan sepeda berteriak-teriak sepanjang jalan. Mereka berkeliling Jalan Embong Malang, Blauran, Praban, dan kembali Tunjungan, mendorong agar rakyat beramai-ramai menurunkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato. Hasilnya cespleng: makin banyak saja warga yang ”mengepung“ Hotel Yamato.

Menurut sebagian dokumen, Residen Sudirman juga datang ke tempat itu dan meminta orang-orang yang mengaku sebagai “perwakilan Sekutu” segera menurunkan bendera itu. Residen Sudirman menyatakan bahwa ia pejabat Pemerintah Republik Indonesia, dan melarang pengibaran bendera asing di Surabaya.

Permintaan tersebut tidak digubris oleh orang-orang yang berada di sana. Bahkan seorang pemuda Belanda mengancam dengan menodongkan revolvernya ke arah Residen Sudirman. Melihat gelagat kekerasan demikian , seorang pemuda yang berada di dekat tempat itu bergerak cepat, menendang revolver dengan tendangan silat.

Meski demikian, tak ada baku tembak saat itu. Yang ada hanya perkelahian antara para pemuda dengan beberapa orang Belanda di hotel tersebut yang berkeras mempertahankan benderanya. Tentara Jepang yang dalam posisi akan dilucuti senjatanya, diam tak tahu harus berbuat apa.

“Aksi perobekan itu sendiri berlangsung cepat. Begitu bendera dirobek dan dinaikkan kembali, para pejuang langsung membubarkan diri dan tidak terlacak jejaknya. Bahkan siapa yang melakukan perobekan bendera tidak diketahui identitasnya hingga sekarang,“ katanya. “Tidak lama setelah insiden perobekan itu, truk-truk yang mengangkut tentara Jepang datang. Namun mereka terlambat karena para pejuang sudah membubarkan diri,“ lanjutnya

Empat pemuda menjadi korban meninggal adalam aksi itu, yaitu Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono. Sedang Pluegman tewas akibat ditusuk dengan senjata tajam.

Selain memastikan tak ada bendera asing yang berkibar menggantikan merah putih, peristiwa ini juga menyisakan satu berkah lain: kesadaran akan perlunya senjata.

“Peristiwa itu membuka pikiran arek-arek Suroboyo bahwa mereka harus punya bedhil. Masak merdeka nggak punya senjata. Akhirnya ada gerakan merampas senjata-senjata Jepang karena merekalah yang masih punya senjata saat itu,“ kata Cak Kadar.

Senjata Jepang itu sebenarnya harus diserahkan kepada Sekutu. Namun, pemuda Surabaya mendahuluinya.

“Lha kita sudah merdeka tapi nggak punya senjata. Daripada dirampas Sekutu, kita rampas dulu, hehehe,” lanjutnya smabil tertawa. (Reny Mardiningsih, Masruroh, dan Yuliana Puspasari berkontribusi pada tulisan ini)


Diatas adalah contoh sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita pada saat zaman perang, sekarang giliran kita untuk berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan, miskin ilmu, maupun miskin iman dan taqwa.

0 komentar: